PERUBAHAN model pendekatan kepatuhan menuju pada kepatuhan
kooperatif mendorong perusahaan untuk memiliki kerangka kontrol risiko pajak,
atau Tax
Control Framework (TCF), di
dalam operasional pengelolaan pajak perusahaan.
Untuk itu, perusahaan perlu melakukan transformasi atau perubahan
secara bertahap agar pengelolaan pajak di internal perusahaan dapat beradaptasi
dengan pendekatan kepatuhan berbasis risiko tersebut.
Keberhasilan transformasi diukur dengan key performance indicator (KPI)
yang inovatif dan disesuaikan dengan target perubahan secara bertahap. Oleh
karena itu, indikator-indikator performa dalam KPI ke depan tidak lagi hanya
terkait ketepatan waktu pelaporan dan jumlah pembayaran pajak saja, tetapi juga
terkait dengan aktivitas dalam sistem dan prosedur kontrol risiko pajak.
Transformasi Pengelolaan Pajak
Penting bagi perusahaan untuk melakukan gap analysis untuk
menilai kondisi pengelolaan pajak saat ini dan menentukan langkah-langkah yang
perlu diambil untuk mencapai kondisi yang diharapkan.
Hal-hal yang perlu dinilai, antara lain, kapabilitas dari
komponen-komponen operasional pengelolaan pajak dalam perusahaan, seperti
pengolahan data, penggunaan teknologi, proses kerja, sumber daya manusia,
struktur organisasi, pembagian peran dan tanggung jawab, komunikasi, dan tata
kelola risiko di dalam perusahaan (Elgood, 2008).
Penilaian atas kondisi serta kapabilitas komponen-komponen
tersebut menentukan tingkat kematangan (maturity
level) dari pengelolaan pajak dalam perusahaan. Perubahan bertahap
dalam transformasi pengelolaan pajak perusahaan dilakukan untuk mencapai
tingkat kematangan dari pengelolaan pajak yang diharapkan oleh perusahaan.
Menurut Schofield (2017), tingkat kematangan pengelolaan pajak
perusahaan dapat dibedakan menjadi empat tingkat.
Pertama, tingkat informal. Dalam tingkat ini, pembagian peran dan
tanggung jawab dalam operasional pengelolaan pajak masih bersifat informal, dan
eksekusi pekerjaan pajak hanya didasarkan pada pengalaman. Operasional
pengelolaan pajak pada tingkat informal juga bercirikan tidak adanya
standardisasi kerja, tidak ada pelatihan formal bagi sumber daya manusia yang
menjalankan fungsi pengelolaan pajak, tidak ada integrasi teknologi, dan internal control yang
terbatas.
Kedua, tingkat terstandardisasi. Dalam tingkat ini, proses operasional
kerja telah terstandardisasi, terdokumentasi, dan dikomunikasikan di dalam
organisasi. Teknologi yang digunakan umumnya sudah terintegrasi dengan
data. Internal
control pun telah tersedia walaupun cakupannya masih terbatas.
Namun, penyimpangan prosedur masih mungkin terjadi akibat kurangnya kontrol
dan monitoring.
Ketiga, tingkat terkelola. Dalam tingkat ini, proses operasional kerja
secara aktif termonitor, dan telah memiliki internal control yang cukup kuat.
Namun, proses operasional kerja dan internal
control perlu ditingkatkan agar dapat berjalan secara efisien
sehingga penyimpangan prosedur dapat cepat terdeteksi. Pada tingkat ini,
teknologi untuk mendukung automasi proses operasional kerja pengelolaan risiko
pajak belum digunakan secara maksimal.
Keempat, tingkat optimal. Dalam tingkat ini, proses operasional kerja
telah berjalan efisien sesuai dengan best
practice. Operasional pengelolaan pajak telah terintegrasi
dengan sistem kontrol risiko pajak. Teknologi yang digunakan mampu mendukung
seluruh aspek dalam pengelolaan sehingga menghasilkan produk kerja yang akurat
dan berkualitas.
Hasil penilaian atas kondisi operasional pengelolaan pajak
perusahaan saat ini merupakan basis bagi perusahaan untuk merumuskan
rencana-rencana aksi dalam rangka perubahan bertahap menuju kondisi yang
diharapkan. Implementasi rencana aksi dapat disusun berdasarkan skala prioritas
dan tingkat urgensi.
Dalam praktik, penyusunan rencana aksi menyasar komponen
pengelolaan pajak yang tidak berfungsi dengan baik. Schofield (2017)
menyebutkan bahwa komponen penggunaan teknologi merupakan prioritas utama dalam
transformasi pengelolaan pajak di banyak perusahaan. Tujuannya, agar laporan
pajak perusahaan dihasilkan dari data yang akurat dan berkualitas.
Secara umum, perusahaan menetapkan tingkat kematangan yang dituju
dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki. Oleh karena itu, target dari
tingkat kematangan pengelolaan pajak perusahaan dapat dicapai secara bertahap.
Misalnya, pada tahun kedua mencapai tingkat terstandardisasi, dan pada tahun
kelima meraih tingkat terkelola.
Dalam rangka menjalankan transfromasi tersebut, perusahaan perlu
membuat roadmap transformasi. Penyusunan roadmap transformasi
akan membantu perusahaan dalam memetakan setiap tahapan perubahan dan memantau
pencapaian rencana aksi yang telah ditetapkan sebelumnya. Rencana aksi yang
dimuat dalam roadmap akan
dinilai secara berkala oleh manajemen perusahaan.
Selain rencana aksi, roadmap juga
memuat timelines,
pembagian peran dan tanggung jawab di dalam departemen pajak, dan target
penyelesaian dari implementasi rencana aksi setiap tahun. Pihak lain yang
diperlukan dalam rangka koordinasi dalam menjalankan rencana aksi juga menjadi
bagian dari roadmap transformasi.
Pada akhirnya, roadmap akan
membantu perusahaan menyelaraskan rencana strategis pengelolaan pajak dengan
perkembangan bisnis dan organisasi perusahan.
Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan penting untuk menilai keberhasilan
transformasi pengelolaan pajak perusahaan. Ukuran keberhasilan ditentukan oleh
indikator kunci yang dirumuskan dalam KPI.
Keberhasilan kinerja akan diketahui jika pengelolaan pajak
dihadapkan dengan KPI secara spesifik. Misalnya, indikator keberhasilan yang
ingin dicapai adalah biaya pajak yang rendah maka KPI yang digunakan untuk
menilai keberhasilan adalah pencapaian tarif pajak efektif (Effective Tax Rate/ETR).
Indikator keberhasilan dapat berupa indikator tradisional maupun
nontradisional (Schofield, 2017). Indikator tradisional umumnya berupa tarif
pajak efektif, ketepatan laporan pajak, besaran jumlah koreksi dalam
pemeriksaan pajak, atau tingkat pengembalian dalam proses restitusi.
Indikator nontradisional menitikberatkan pada ukuran keberhasilan
terkait pengelolaan risiko pajak, inovasi dalam proses kerja dan teknologi,
atau pada suatu aktivitas atau proyek tertentu, misalnya transfer pricing.
Keberhasilan juga dapat diukur dari efisiensi dan efektivitas pengelolaan
risiko pajak, improvisasi dalam proses, alur kerja, dokumentasi, dan
peningkatan kompetensi.
Pada umumnya, indikator nontradisional menjadi ukuran keberhasilan dari
implementasi rencana aksi dan pencapaian target tingkat kematangan pengelolaan
pajak yang diharapkan. Indikator tersebut juga menjadi pedoman penilaian atas
performa departemen pajak perusahaan dan performa masing-masing profesional
dalam departemen pajak