Jakarta, CNN Indonesia — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berhak menentukan sendiri nilai jumlah penghasilan Wajib Pajak (WP), jika selama ini WP tidak pernah menunjukkan catatan mengenai jumlah pendapatannya di dalam pembukuan. Ketentuan ini tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2018 tentang Cara Lain untuk Menghitung Peredaran Bruto.
Melalui beleid tersebut, WP yang tidak menyelenggarakan kewajiban pembukuan dan tidak menunjukkan bukti pendukungnya akan diperiksa oleh DJP. Pasalnya, dengan nilai pendapatan yang tak dilaporkan, DJP jadi tidak bisa mengetahui dasar perhitungan Pajak Penghasilan (PPh)
Setelah itu, otoritas pajak bisa menentukan sendiri jumlah pendapatan yang diperoleh WP dalam satu tahun pajak berdasarkan data yang diperoleh. Dengan demikian, nilai Pajak Penghasilan (PPh) yang dibayarkan oleh WP bisa lebih rendah atau lebih tinggi dari penghasilan WP yang sebenarnya.
Di dalam menaksir jumlah pendapatan yang diterima WP per tahunnya, DJP akan melakukan delapan metode. DJP akan melihat data transaksi tunai dan nontunai, sumber penggunaan dana, jumlah satuan usaha yang dihasilkan WP dalam setahun, penghitungan biaya hidup, pertambahan kekayaan bersih, Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebelumnya, proyeksi nilai ekonominya, hingga penghitungan rasio.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan, pemeriksaan bagi WP yang enggan transparan ini akan dilakukan berdasarkan data yang dihimpun oleh DJP.
Selain itu, ia menyebut bahwa perhitungan ini sudah pernah dilakukan DJP sebelumnya. Hanya saja, DJP selama ini belum punya kepastian hukum kala menaksir pendapatan WP, sehingga aturan ini menegaskan bahwa apa yang selama ini dilakukan oleh DJP adalah sah.
(Dengan diterbitkan PMK ini) akan memberikan kepastian hukum, karena sebelumnya tidak ada PMK-nya,” jelas Hestu kepada CNNIndonesia.com, Kamis (1/3).
Ia melanjutkan, kewenangan DJP ini juga didasarkan atas pasal 14 ayat 5 Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), sehingga metode tersebut harusnya tidak perlu dipermasalahkan. Apalagi, dalam melakukan perhitungannya, aparat DJP juga akan menjelaskan metode yang dipakai untuk menghitung besaran peredaran bruto kepada WP.
“Itu juga memberikan kepastian hukum atau perlindungan bagi WP, dalam arti pemeriksa tidak akan sewenang-wenang atau menggunakan metode yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam menghitung atau menetapkan peredaran bruto,” pungkas dia.